“Annyeong, oppa~” balasku.
“Kajja!” ucap Onew sambil memakaikan helm untukku. Aku pun segera naik ke motornya dan kami pun pergi menuju pantai.
--
Hamparan pasir putih telah berada di depan mataku, Onew menarik tanganku dan berlari menuju tengah tepat di depan matahari terbenam. Pesona matahari terbenam di pantai ini memang sangat indah, tak heran jika Onew terlihat sangat bahagia. Kami duduk berdua dihadapan matahari terbenam, menyaksikan detik-detik matahari terbenam bersama. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Onew. Kulihat sinar berwarna jingga mulai mewarnai langit.
“Oppa..” ucapku.
“Bagaimana oppa bisa tahu bahwa di tempat ini pemandangan matahari terbenamnya sangat indah?” tanyaku sambil mendongak ke langit.
“Dulu waktu oppa kecil, umma sering mengajak oppa kesini. Jadi sekarang oppa ingin menunjukkan keindahan matahari terbenam ini kepadamu.” Jawab Onew sambil memegang tanganku dan menggenggamnya.
“Ehm.. Ne, oppa. Kapan-kapan kita kesini lagi ya?” kataku sambil menatap mata Onew.
“Ne, pasti,” senyum Onew merekah di bibirnya. Senyum yang membuat orang lain bisa merasakan kebahagiaan.
Matahari telah tenggelam separuh, langit perlahan berubah menjadi petang. Kami masih duduk bersama hingga matahari itu benar-benar menghilang diantara suara ombak dan angin yang berhembus. Aku dan Onew hanya terdiam satu sama lain, merasakan sejuknya tiupan angin yang menerpa kami. Dan matahari kini telah sepenuhnya tenggelam.
“Kajja!” sahut Onew sambil membantuku berdiri. Kami berjalan meninggalkan pantai yang indah ini.
“Chagi, Ayo ke cafe dan makan malam!” ajak Onew padaku.
“Ne, Oppa. Kajja!”
Onew’s POV
Aku dan Minsoo menuju ke sebuah cafe di dekat pantai. Aku tidak terlalu banyak bicara kepada Minsoo, aku hanya memikirkan suatu hal penting yang ingin kuberitahukan kepada Minsoo. Kami telah tiba di cafe, kami memesan 2 piring spageti dan 2 gelas soda. Kami duduk di meja nomor 14 sambil menunggu pesanan kami datang.
“Minsoo..” ucapku.
“Ne, Oppa?” jawab Minsoo.
“Ehm, ani lupakan saja,”
Sangat sulit bagiku untuk mengatakan ini semua kepada Minsoo. Aku tidak ingin membuatnya sedih tapi bagaimanapun aku harus mengatakan ini. Biarlah kutunggu sampai dia menikmati makanannya..
Beberapa menit kemudian, masakan yang kami pesan telah siap disantap. Kami berdua menikmati masakan tersebut tanpa ada yang membuka suara sedikitpun. Minsoo sepertinya tidak menyadari sikapku yang sedikit berubah hari ini, dan aku.. Aku masih menguatkan diri untuk mengatakan ini semua. Masakan yang kami pesan pun perlahan mulai habis, menandakan semakin dekat pada waktuku untuk mengatakan ini kepada Minsoo. Dalam hati aku ingin agar Minsoo makan dengan perlahan agar waktu itu dapat tertunda tapi semua nihil. Suapan terakhir dari makanan Minsoo telah masuk ke mulutnya. Yah.. Waktuku telah tiba, aku tidak bisa menyembunyikan ini semua..
“Minsoo-ssi..” ucapku pelan.
“Ne?”
“Maukah kamu merelakan..” ucapanku tersendat. Sungguh sulit bagiku untuk mengatakan ini semua.
“Merelakan apa, Oppa?” tanyanya.
Aku meletakkan garpu yang sedari tadi masih berada di genggamanku dan beralih menggenggam tangan Minsoo.
“Wae? Waeyo, Oppa?” tanyanya lagi.
“Semester ini adalah semester terakhir oppa kuliah di universitas. Aku..aku akan tinggal di luar negeri setelah kuliahku berakhir. 1 bulan lagi, pesawat yang menuju ke Paris akan menjemput oppa dan membawa oppa kesana. Jadi..”
“Andwee oppa, andwee!! Aku tidak akan merelakanmu pergi bagaimana pun itu. Oppa, sungguh sulit bagiku untuk hidup jauh dari oppa. Kumohon oppa, Kumohon...”
Belum selesai aku mengucapkan semua, Minsoo telah menangkap maksudku. Air mata mulai membasahi pipinya, aku hanya bisa menatapnya dan aku harus melanjutkan apa yang ingin kukatakan.
“Minsoo-ssi, tolong relakan oppa.. Ini semua oppa lakukan untuk umma oppa. Sejak oppa kecil, umma selalu berkata kepada oppa bahwa beliau ingin melihat oppa bekerja dan sukses di luar negeri. Jadi mulai sekarang, belajarlah.. belajarlah untuk merelakanku. Mulai sekarang anggaplah oppa sebagai teman biasa agar kamu mudah merelakanku.” lanjutku.
Tenggorokanku terasa sangat sakit setelah kuucapkan semua itu. Kulepaskan tangan Minsoo dari genggamanku agar ia dapat merelakanku sedikit demi sedikit. Minsoo hanya menunduk sambil menangis, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuknya. Jika aku boleh menangis saat ini, aku akan menangis sekeras-kerasnya seperti tangisan yang sudah kulontarkan dalam hatiku saat aku harus mengatakan ini semua. Namun aku tidak ingin membuat Minsoo semakin sedih, itulah mengapa aku menahan air mataku yang sudah berada di ujung sudut mataku.
“Oppa..” ucap Minsoo yang sedikit menyadarkanku dari lamunanku.
“Ne?”
“Berapa lama oppa harus pergi?” tanyanya masih dengan air mata yang mengalir.
“Oppa akan pergi selama 3 tahun dan jika oppa telah sukses, oppa akan kembali kesini dan menjalani kehidupan lagi disini. Oppa akan bekerja di perusahaan yang ingin oppa dirikan untuk umma.” Jawabku sambil menatap Minsoo.
“Oppa, aku akan merelakan oppa pergi ke Paris. Tapi kumohon oppa.. biarkanlah aku berada disampingmu sampai ajalku. Aku akan menunggu sampai oppa kembali dari Paris” ujarnya.
“Tapi itu akan membuatmu menunggu lama untukku. Minsoo-ssi, kamu bisa menemukan pengganti yang lebih baik dariku dan jika kamu bisa menemukan penggantiku, kamu tidak akan sedih jika kehilanganku” jawabku sambil meyakinkan Minsoo.
“Tapi jika aku harus melupakanmu, oppa.. Itu akan membuatku jauh lebih sedih ketimbang harus merelakanmu. Oppa, sebenarnya oppa juga tidak rela jauh dariku kan? Oppa kumohon biarkanlah aku berada disampingmu sampai ajal yang memisahkan kita” ucap Minsoo dengan nada memohon.
Aku terdiam untuk beberapa saat, berusaha untuk memahami keadaan ini. Sungguh aku memang tidak bisa merelakan Minsoo tapi ini sudah keputusanku dan aku harus pergi. Di sisi lain, Minsoo juga benar, aku masih bisa menjadi pacarnya sampai aku kembali kesini lagi..
“Oppa akan memenuhi permintaanmu. Jika kamu ingin bersamaku sampai kapanpun, maka oppa tidak akan merelakanmu pergi dari sisi oppa..” jawabku sambil mengembangkan senyum untuk menenangkan Minsoo.
“Jinjja, oppa?” tanyanya dengan sedikit terkejut.
“Ne.” Jawabnya singkat.
“Ahh gamsahamnida oppa, aku akan menunggumu kembali dari Paris..” ucapnya dengan nada bahagia.
“Tapi kamu harus berjanji pada oppa. Saat oppa sudah berada di Paris, kamu tidak boleh sedih terus-terusan ya?” tanyaku sambil memegang pipi Minsoo.
“Janji, oppa!” jawab Minsoo sambil menampakkan senyumnya walau air mata masih mengalir dari kedua matanya. Kuusap air mata itu, aku tersenyum melihat Minsoo yang bisa menerima ini semua. Minsoo-ssi terima kasih karena kamu telah memahamiku..
“Let’s go home!” ucapku sambil berdiri.
“Ne, oppa” jawab Minsoo singkat.
--
Aku dan Minsoo telah sampai di depan rumah Minsoo. Minsoo turun dari motorku begitu juga aku. Mata Minsoo terlihat masih sembab.
“Uljimayo, Minsoo-ssi” ucapku sambil mengelus kepala Minsoo.
“Ne, oppa..” jawabnya.
Aku bersandar di motor dan Minsoo masih berdiri dihadapanku. Entah apa yang membuatku seaakan tidak ingin kehilangannya. Minsoo sudah banyak menangis karenaku, aku merasa bersalah padanya.
“Minsoo-ssi, oppa minta maaf karena terlalu sering membuatmu menangis” kataku sambil meraih tangan Minsoo.
“Ani, oppa. Gwenchanna, Oppa tidak perlu meminta maaf..” balasnya.
Aku hanya tersenyum melihatnya. Minsoo sungguh tegar, bagaimana bisa kamu se-tegar ini, Minsoo-ssi?
“Chaa, hug me~!” ucapku. Minsoo memelukku dengan erat, nafasnya yang terisak-isak terdengar di telingaku. Ia memelukku untuk beberapa saat, dan kemudian melepaskannya.
“Oppa, aku masuk ke rumah ya..” ucap Minsoo.
“Ne, jangan sedih terus ya..” kataku sambil memegang bahu Minsoo.
“Ne, oppa. Annyeong~” Minsoo tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku.
“Annyeong~”
Minsoo pun masuk ke dalam rumahnya. Aku menaikki motorku dan meninggalkan rumah Minsoo.
--
TO BE CONTINUED
Kerenkerenkeren!! Lanjutin :)
ReplyDeletejeongmal? wahh gamsahamnida :) sip, masih dalam proses hehe
ReplyDelete